Ilustrasi City Pop. |
Acta Diurna – Selama
nyaris sepekan, seluruh pengguna internet secara global serentak turut lebur ke
dalam euforia Spotify Wrapped 2021. Spotify, sebuah platform penyedia
musik digital, yang rutin melakukan rekapitulasi tahunannya dengan merangkum
pola putar, preferensi, durasi, kemudian mengemasnya secara apik dalam tajuk wrapped.
Kesan yang didapat begitu luar biasa, melalui musik yang terangkum selama
setahun terakhir, kita seakan bisa melakukan perjalanan waktu, merangkai
ingatan atas apa yang terjadi setahun ke belakang melalui media musik. Musik
memang istimewa, saya kira tak ada yang bisa hidup tanpa musik dalam hidupnya,
sekecil apapun bentuknya. Melalui musik, nyatanya mampu membawa kita untuk
bernostalgia, merangkum jejak dan menziarahi apa saja yang terjadi pada diri
kita secara personal, atau mungkin untuk merekonstruksi ulang segala ingatan
yang tersemat melalui musik.
Ada distingsi yang jelas, yang membuat musik berbeda dengan jenis produk
kebudayaan lainnya seperti tarian, ritus, berbagai seremoni, dan bahkan teks
sastrawi. Musik memiliki ekspresi ekstrinsik yang dapat memengaruhi kita secara
drastis. Hanya butuh deretan not dalam satu bar dengan birama
tiga-per-empat ketukan barangkali akan mampu membawa suasana hati dan imajinasi
kita untuk larut kembali dalam semangat era 60-an; dalam setelan jas dan gaun,
hentakan kaki di lantai dansa seirama dengan tiap ketukan ganjilnya, serupa apa
yang kita lihat dalam adegan-adegan film mafia ala barat. Tetapi semua
akan berubah ketika kita dihadapkan dengan deretan nada dengan ketukan
tujuh-per-delapan, maka bayangan konser dengan atribut rambut gondrong, rompi jeans dengan berbagai emblem, serta entakan
tubuh bersambut peluh yang akan hadir dalam benak kita. Tanpa kita sadari,
musik hadir dalam keseharian dan mengisi rutinitas kita, kemudian juga merekam
tiap ekspresi kehidupan kita.
Perkembangan musik modern bukan merupa revolusi yang bisa terjadi
sehari-semalam. Musik yang kita kenal sekarang merupakan hasil sumbangsih
pikiran, ide, dan keringat para maestro yang meneteskan keringatnya di tiap
melodi. Musik yang kita kenal dan nikmati barangkali tidak akan seperti
sekarang ini, jika pada 1930-an orang-orang dalam bar di Clarksdale tidak
merundung Robert Johnson atas reputasinya serta kemampuan bergitarnya. Johnson,
yang begitu menggilai atensi, wanita, dan wiski, kemudian pergi ke luar kota
dan menghilang secara misterius dengan gitar terselempang di punggungnya. Tak
ada yang tahu ke mana perginya ia. Tetapi yang semua orang tahu, Robert Johnson
kemudian kembali ke bar yang sama, tetapi dengan perlakuan para pengunjung yang
berbeda[1].
Robert Johnson begitu misterius, menurut laporan dokumenter bertajuk ReMastered:
Devil at the Crossroads yang tayang di Netflix, Johnson dengan karir yang
begitu singkat, dengan hanya 29 lagu serta dua foto yang dikonfirmasi sebagai
dirinya, mendapatkan ketenaran yang luar biasa. Robert Johnson yang meninggal
dan abadi sebagai anggota pertama dari Club27, kemudian menjadi penanda
perkembangan tren musik bermula. Di balik ketenarannya sebagai seorang maestro
muslik blues, mitos-mitos kemudian muncul menyertai lompatan karirnya yang luar
biasa[2]. Mitos paling terkenal,
Johnson menjual jiwanya kepada iblis di persimpangan jalan antara jalan 61 dan
49 di Clarksdale, Mississipi[3].
Beberapa dekade berlalu, nama Robert Johnson tetap diingat dan abadi
sebagai peletak pondasi fundamental musik modern. Disusul tren musik yang kemudian
dengan begitu cepatnya berubah, sebut saja The Beatles di era lahirnya tren rock
‘n roll pada 60-an; Led Zeppelin hingga Black Sabbath mewarnai medio 70-an
dengan kelahiran metal-nya; di era 80-an kita kenal Michael Jackson;
berlanjut ke tahun 90-an ketika gelora pemberontakan anak muda begitu kuat
menguar melalui lengkingan gitar dan teriakan Kurt Cobain bersama Nirvana.
Wajah musik secara global mengalami perkembangan, tetapi itu hanya sebagian
saja dari apa yang nampak di permukaan. Perkembangan tren yang diwakili musik
turut memengaruhi aspek lain, sebut saja ekonomi, fashion, dan kemudian gaya
hidup.
Kembali pada manusia yang menyukai perubahan sekaligus membencinya.
Manusia, barangkali memang menyukai perasaan sentimentil, yang kemudian ia putuskan
akan ia apakan perasaan tersebut; jika ia menyukainya, perasaan itu akan abadi
dalam ingatan, kemudian kita menyebutnya kenangan. Tetapi jika ia tidak, maka
perasaan itu niscaya menjadi musuh, desertir yang layak dihujat, dicampakkan,
bahkan—bila perlu—dibuang ke ceruk-ceruk gua ingatan terdalam, dibiarkan hingga
musnah. Agaknya seperti itu yang terjadi, ketika Cat Zhang melaporkan temuannya
pada 24 Februari 2020 lalu bahwa di tahun yang sama, tangga lagu bertajuk Spotify’s
Viral Charts pada penyedia layanan musik Spotify, lagu Mayonaka no
Door/Stay with Me menempati posisi pertama[4]. Tidak ada yang janggal,
memang, hingga suara remaja bernama Miki Matsubara mengalun beriringan dengan
betotan bass yang berat, petikan gitar yang terasa berasal dari belahan lain
dunia ini. Semua terasa biasa, hingga menjelang akhir verses pertama
yang menandai mula bagian chorus, hentakan berat ala Fusion-Jazz
bersamaan dengan perpindahan lirik dari Bahasa Jepang menjadi Inggris.
Hits utama Miki Matsubara Mayonaka no Door/Stay with Me tidak
lahir di dekade ini. Mayonaka no Door/Stay with Me ldirilis pertama kali
pada tahun 1979 di Jepang. Kebiasaan manusia untuk menggali apa saja yang telah
terjadi, membawa sebuah tren dari tiga dasawarsa lalu untuk lahir kembali. Melalui
laporan dari tirtoID di kanal YouTube-nya, ada satu tajuk khusus dengan
judul Booming City Pop di Balik Keajaiban Ekonomi Jepang[5].
City Pop, sebuah bentuk pergumulan budaya Barat yang kemudian diadaptasi
sedemikian rupa guna mencerminkan semangat zaman yang terjadi kala itu di
Jepang. Mengenal City Pop di era serba digital dan cepat seperti sekarang ini
serupa menaiki kereta kelinci di lorong waktu sebuah museum musik. City Pop
barangkali akan tergantung di selasar waktu bertanda 80’s dengan nuansa kontras,
penuh warna-warna cerah berpendar dengan latar belakang serba gelap. City Pop
lahir serupa seperti Alice yang menemukan dunia lain di dalam lubang kelinci.
Kehidupan masyarakat pasca perang bukanlah perkara mudah. Upaya merestorasi
negeri menjadi tujuan kolektif, sementara di lain sisi, setiap individunya
harus menanggung beban traumatis mereka secara personal.
Beranjak sejenak nari musik, pengaruh produk kebudayaan dipilih
masyarakat Jepang guna mengikis ingatan-ingatan kolektif maupun personal pascaperang.
Keadaan yang sedemikian memaksa para pegiat maupun pelaku industry kreatif
untuk kemudian mengalihpusatkan perhatiannya ke arah pengembangan guna
menghapus luka. Bukan perkara mudah, 1917 di Italia, kehidupan masyarakat
setelah Perang Dunia I begitu terasa. Aksi buruh pabrik otomotif fiat meletus.
Akibatnya, melahirkan dua kubu yang saling berseteru di jalan politik;
Mussolini dengan fasci-nya di sisi kanan, sementara di sisi berlawanan,
berdiri Gramsci dengan PCI[6]. Di luar dugaan, Mussolini
meraih simpati kelas pekerja pada 1922 dengan memenangkan kontestasi politik.
Gramsci menjadi pesakitan, gerakan PCI ditumpas tuntas, ia dipenjara hingga
meninggal pada 1947, yang terjadi selanjutnya adalah sejarah. Berbeda dengan
Italia yang semakin terpuruk pasca-Perang Dunia I, Jepang selepas peristiwa 6
dan 9 Agustus 1945 beralih menjadi sedikit sibuk dan beralih fokus dari hal-hal
politis. Jepang kembali merestorasi dirinya. Hasilnya berbuah, menjelang dekade
keempat setelah perang, Jepang menjelma menjadi negara yang sibuk. Robert C.
Christopher pernah mengulas untuk New York Times bahwa di tahun 1980-an, Jepang
mengalami titik kulminasi perekonomian terbaik mereka pascaperang[7].
Memasuki dekade 80-an, pertumbuhan ekonomi Jepang menyentuh angka empat
persen per tahun[8].
Akibatnya, terjadi sub-urbanisasi besar-besaran. Christopher dalam laporan yang
sama menyampaikan bahwa pascaperang, pertumbuhan penduduk di kota-kota utama
Jepang mencapai angka 87 persen. Peralihan penduduk usia produktif menuju ke
pusat kota dengan gairah kapitalisme yang tengah bergelora memaksa adanya
inovasi dalam gaya hidup, tak terlepas melalui musik. Kemajuan zaman melalui
berbagai bentuk hasil produksinya memunculkan inovasi dalam arus wajah musik,
utamanya di Jepang. Cat Zhang dalam ulasannya menyebut Jepang pada medio 80-an
merupakan kekuatan ekonomi global kedua yang mengancam dunia Barat. Maka
sebagai konsekuensi logis dari masifnya kemajuan ekonomi masa itu, pola dan
gaya hidup masyarakan urban di kota-kota cosmopolitan Jepang turut berubah.
Masa itu juga menandai peralihan piranti pemutar musik. Pamor vinyl tergerus
seiring dengan lahirnya boombox, hingga pada akhirnya ketika Walkman diperkenalkan
sekaligus dipasangkannya perangkat stereo pada mobil membuat semangat pembaruan
di skena musik Jepang turut bergeser.
Musik glamor khas Barat, kemudian diapropriasi para artis Jepang.
Tercatat dalam website Rolling Stones yang ditulis oleh Jon Blistein,
secara genealogis, City Pop terlahir dari arus New-Music di dunia Barat.
Penggabungan nuansa folk ke dalam musik dengan bit menghentak, ditambah
permainan instrumen bergaya funk yang dibalut apik dengan cara
disampaikan dengan Bahasa Jepang menjadi titik mula City Pop muncul[9]. Gaya hidup cosmopolitan,
mobilitas, serta kebutuhan untuk menikmati hidup bagi warga urban Jepang
membuat City Pop menemukan popularitasnya. City Pop seolah menjadi soundtrack
yang mengiringi segala prestasi Jepang kala itu, menggenapi pencaipaian di
bidang pertumbuhan ekonomi, stabilisasi politik, hingga status sebagai negara
dengan prospek pascaperang yang cerah. Sebelum akhirnya masa kejayaan itu
meredup di penghujung tahun 1990-an, begitu pula dengan City Pop.
Terlepas dari fakta di balik kelahiran City Pop sebagai pencapaian
produk kultural masyarakat urban di tengah pertumbuhan ekonomi Jepang,
pertanyaan sebenarnya adalah bagaimana sebuah monumen kultural yang telah
“mati” sebelum para penikmatnya di dekade ini lahir bisa menemukan jalannya
kembali menuju ketenaran? Pola hidup dan konsumsi masyarakat digital adalah
jawabannya. Hugo Massie sebagaimana dilaporan dalam tulisan Fikri Muhammad
untuk National Geographic menyatakan jika algorita YouTube adalah
salah satu jalan bagi generasi sekarang untuk “menemukan” kembali City Pop[10].
Manusia sebagai makhluk yang meruang dan mewaktu, selalu mengisi
kesehariannya sebagai bentuk mereka meng-ada di dunia ini, salah satu caranya
adala dengan menciptakan jejak dalam bentuk tren. Tren yang telah diciptakan,
kemudian menjadi seperti memorabilia; semacam wadah yang menampung sehimpun
kenangan di dalamnya. Meminjam apa yang disampaikan Maurice Halbwachs, sosiolog Prancis
sekaligus seorang Durkheimian dalam magnum opusnya On Collective Memory
memaparkan bahwa seseorang tidak bisa mengingat kejadian/peristiwa yang berbeda
dalam ruang dan waktu secara langsung tanpa tampilan simbolis. Maka yang
terjadi dalam kasus bangkitnya City Pop di hadapan kita adalah sebagai bentuk
aktualisasi diri manusia dengan cara merefleksikan kembali melalui perjalanan
lintas-waktu atas apa yang telah terjadi. Manusia
menyukai perubahan sekaligus membencinya. Manusia, barangkali memang menyukai
perasaan sentimentil, yang kemudian ia putuskan akan ia apakan perasaan
tersebut; jika ia menyukainya, perasaan itu akan abadi dalam ingatan, kemudian
kita menyebutnya kenangan. Tetapi jika ia tidak, maka perasaan itu niscaya
menjadi musuh, desertir yang layak dihujat, dicampakkan, bahkan—bila
perlu—dibuang ke ceruk-ceruk gua ingatan terdalam, dibiarkan hingga musnah.
Peristiwa lampau yang dialami manusia akan diingat dan akan terulang
terus menerus dengan usaha untuk membangkitkan semangat maupun perasaan kuat
yang menguar dari setiap kisah di balik peristiwa. Setiap manusia mungkin
menyimpan kisah-kisahnya untuk dirinya sendiri, beberapa mungkin akan menyampaikannya
pada orang lain. Suatu peristiwa yang terangkum dalam kisah, hidup bersama
manusia yang ada di dalamnya. Mereka, kisah dan peristiwa, bersama menjadi
suatu petanda eksistensial seorang manusia di masa lampau. Kisah-kisah tersebut
barangkali akan hadir kembali, direproduksi ulang dalam bentuk memori personal,
penanda dalam almanak, dan bisa jadi merupa pelbagai memorabilia.
City Pop sebagai memorabilia, mewakilkan dirinya ke dalam suara Miki
Matsubara dengan Mayonaka no Door/Stay with Me dan Mariya Takeuchi
dengan Plastic Love-nya. Namun seperti Robert Johnson yang mati di tahun
keenam karirnya, nama pertama yang menjadi petanda bagi kita untuk kembali
menziarahi kenangan masa lalu bernama City Pop pada waktunya pun menemu akhir
yang sama. Johnson mati dibunuh oleh musiknya, meskipun secara tidak langsung.
Ia mati pada 1938 di hadapan tiga hal yang disukainya; atensi, wanita, dan
wiski. Robert Johnson mengembuskan napas terakhirnya di hadapan wanita bersuami
pelayan di sebuah bar, suaminya yang tidak terima, menyuguhkan sebotol wiski
dengan segel yang telah terbuka dan Johnson meminumnya tanpa curiga jika
ternyata wiski tersebut telah bercampur racun yang kemudian merenggutnya dari
hal-hal yang digilainya. Miki Matsubara yang turut mewarnai geliat semangat
zamannya dengan suaranya, meninggal dengan membunuh musiknya sendiri. Menjelang
akhir tahun 2000, ia meninggalkan segala hiruk-pikuk dunia musik sepenuhnya,
hingga akhirnya pada 7 Oktober 2004, ia meninggal karena kanker serviks yang
diidapnya. Belakangan, setahun sebelumnya, Matsubara menyalahkan kehidupan di
masa puncaknya sebagai sebab penyakitnya sehingga ia tak bisa menikmati
hidupnya dan berharap tidak ada lagi yang mendengarkan musik-musiknya karena ia
begitu menyesali karinya sepenuhnya[11].
Suatu karya bisa disebut sebagai mahakarya adalah ketika ia mampu
mengemas berbagai kisah, peristiwa, dan emosi di dalamnya, kemudian ketika itu
disampaikan, kita sebagai penikmat seketika akan menjadi lupa. Seperti Voltaire
yang sedemikian kejamnya melukiskan hidup seorang Candide tak lantas akan
membuat pembacanya berhenti, merasa berdosa atas nasibnya, dan mengasihani
Candide. Para pembacanya akan terus melanjutkan kisah tersebut dengan menyisa
tawa kecut di penghabisan. Serupa Voltaire, maka begitulah dengan City Pop,
apakah kita akan larut dengan segala ironi yang melankoli, atau kah kita akan
tetap memutarnya sembari menari? Apapun pilihannya, manusia selalu ingin
berlari dan tren kelamaan akan berganti. Karena begitulah manusia, di balik
setiap peristiwa dan kisah, ada luka yang harus disembuhkan biarpun kesakitan,
dan ada hidup yang harus dituntaskan, sebelum pada akhirnya segalanya terpejam,
kepayahan.
[1] Pearson,
Barry Lee; McCulloch, Bill (2003). Robert Johnson: Lost and Found.
Champaign, Illinois
[2] Oakes,
Brian. (2021). ReMastered: Devil at the Crossroads. Netflix.
[3] N.n.
(n.y). Where Did Robert Johnson Sell His Soul? Didapat dari, https://www.ploddings.com/blog/where-did-robert-johnson-sell-his-soul/
[Diakses
26/11/2021]
[4] Zhang, Cat. (2020). The Endless Life Cycle of
Japanese City Pop. Didapat dari, The Endless Life Cycle of Japanese City Pop | Pitchfork [Diakses
26/11/2021]
[5] TirtoID. (2021) Booming City Pop di Balik Keajaiban Ekonomi Jepang. Didapat dari, https://www.youtube.com/watch?v=JLI_vzQaIMA&ab_channel=TirtoID [Diakses 28/11/2021]
[6] Patria,
Nezar&Andi Arif. (2005). Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
[7] Christopher,
Robert C.. (1983) Changing Face of Japan. New York: New York Times
Magazine. Didapat dari, https://www.nytimes.com/1983/03/27/magazine/changing-face-of-japan.html
[Diakses
28/11/2021]
[8] O.,
Safiyah. (2017) Japanese
‘City Pop [シティポップ]’: A Dreamy Trip
Back To Japans Capitalist Fantasy Of The 1980s. Didapat dari, https://beardedgentlemenmusic.com/2017/08/23/japanese-city-pop-1980s/ [Diakses
28/11/2021]
[9] Blinstein, Jon. (2019). City Pop: Why Does the Soundtrack to Tokyo’s Tech Boom Still
Resonate?. Didapat dari, Japanese
City Pop Returns on Light in the Attic Comp 'Pacific Breeze' - Rolling Stone [Diakses
29/11/2021]
[10] Muhammad, Fikri. (2021). Mengapa Orang-Orang Menggali
City Pop Jepang dan Tergila-Gila Olehnya? Didapat
dari, Mengapa
Orang Menggali City Pop Jepang dan Tergila-Gila Olehnya - Semua Halaman -
National Geographic (grid.id) [Diakses 30/11/2021]
[11] Fleming,
Francis. (2021). The Life of Miki Matsubara. Didapat dari, https://www.themycenaean.org/2021/05/the-life-of-miki-matsubara/ [Diakses 2/12/2021]
0 Komentar