Seorang 'dalang' Kamishibai mengadakan pertunjukan pada anak-anak. |
Acta Diurna - Pada masa penjajahan Jepang, Kamishibai diperkenalkan pada masyarakat di Pulau Jawa. Selain sebagai media hiburan, Kamishibai ini digunakan kolonialisme Jepang untuk mempropaganda sekaligus sebagai alat indoktrinasi politik pada rakyat biasa yang kurang melek huruf.
Sejak awal kedatangannya, Jepang melakukan propaganda untuk memenangkan hati rakyat Indonesia. Jepang membentuk sejumlah organisasi sosial kemasyarakatan yang memiliki tugas-tugas yang berbeda. Kolonialisme negeri sakura ini juga mendoktrin rakyat Indonesia lewat kebudayaan setempat dan kebudayaannya sendiri. Salah satu contohnya adalah Kamishibai.
Dikutip dari buku yang berjudul “Propaganda Media on Java under The Japanese 1942-1945” karya Aiko Kurasawa, selain menyisipkan propaganda dan indoktrinasi lewat film, drama, serta lagu, Jepang juga memperkenalkan pertunjukan cerita bergambar yang disebut kamishibai (secara harfiah berarti “teater kertas”).
Kamishibai sendiri menunjukkan sebuah pementasan kisah bergambar gaya Jepang yang populer di kalangan anak-anak di Jepang. Di masyarakat Jawa, “teater kertas” ini sering disamakan dengan Wayang Beber. Walau sejatinya tidak sama, Jepang melihat adanya peluang untuk memasukkan ideologinya pada rakyat biasa melalui kebudayaan yang familiar dengan pribumi.
Di negeri asalnya, Kamishibai digunakan sebagai penyampai materi pembelajaran di sekolah-sekolah dan sebagai salah satu mata pencaharian. Sedangkan di Jawa, “teater kertas” ini dianggap sebagai media propaganda yang strategis. Pasalnya, untuk menonton Kamishibai penonton tidak dipungut biaya. Sehingga, Kamishibai menjadi media propaganda yang murah dan mudah untuk menyebarkan pesan-pesan pemerintah Jepang ke anak-anak maupun orang dewasa.
Pada masa itu, Sendenbu (badan propaganda yang ditugaskan khusus di Pulau Jawa oleh Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II) secara langsung mengawasi produksi dan kinerja Kamishibai ini. Namun, terkadang lembaga pemerintahan lainnya ikut serta mempromosikan tema-tema khusus. Contohnya, Chokin Kyoku yang mempropagandakan kegiatan menabung.
Tema-tema mengenai pendidikan moral dibuat di Jepang dan didistribusikan di Jawa, namun sebagian besar tema-tema lainnya diproduksi langsung di Jawa oleh anggota Sendenbu. Pertunjukan Kamishibai ini dibawa keliling oleh Sendenbu ke sekolah-sekolah, unit-unit kerja dan juga di desa-desa.
Ketika menggelar pertunjukan “teater kertas” tersebut, kolonialisme Jepang memilih untuk menggunakan bahasa daerah. Pemerintah Jepang berfikir bahwa indoktrinasi ideologi tersebut akan lebih efektif apabila menggunakan bahasa lokal yang lebih familiar.
Sebagian besar tema yang diangkat dalam Kamishibai memiliki nuansa propaganda pemerintahan Jepang yang kental. Namun, beberapa tema yang diangkat juga tidak memiliki nuansa politik dan murni hiburan saja.
Dikutip dari “Laporan Bulanan Sendenbu” (Desember 1943), tema-tema Kamishibai yang diangkat lebih banyak mengarah pada Promosi peningkatan produksi pertanian, promosi tabungan, pertahanan nasional (seruan untuk PETA), dorongan untuk Romusha dan tuntutan Tonarigumi, serta memperkenalkan anak-anak Jepang.
Mantan ‘dalang’ Kamishibai di Yogyakarta, Besut Hardiwardoyo menyebutkan bahwa tema yang paling sering diusung adalah mengenai militer dan perbaikan moral (Kurasawa, 1987).
0 Komentar