Foto Patung Eskperimen Manusia Unit 731, di Harbin. |
Acta Diurna - Sebelum melakukan invansi ke
Indonesia, pada tahun 1931 Jepang lebih dulu menyerang wilayah Manchuria dan
mendirikan negara boneka di Manchuko pada tahun 1932. Jatuhnya wilayah Cina ke
tangan Jepang membuat masa operasi Jepang semakin meluas di asia. Salah satunya
Indonesia yang di mulai pada tahun 1942. Kemudian secara resmi Jepang telah
menguasai Indonesia sejak 8 Maret setelah Panglima Tertinggi Pemerintah Hindia
Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Subang.
Sebagian orang mungkin tidak
mengetahui unit 731 atau yang disebut dengan "Nana-san-ichi
Butai". Divisi yang diberi nama Epidemic Prevention and Water
Purification Department of the Kwantung Army (Departemen Pencegahan Epidemi dan
Pemurnian Air Tentara Kwantung) ini berpusat di Harbin, timur laut Cina dan beberapa
cabang lain juga tersebar di beberapa daerah Asia, khususnya dataran Cina. Namun
tidak seperti namanya, unit 731, yang dikepalai oleh Shiro Ishi merupakan tempat
laboratorium eksperimen militer kekaisaran untuk mengembangkan senjata
biologis.
Dalam
dokumenter “Japan Secret Unit
731-Where Biological Werfare Was Conceived” sebagian besar objek
penelitian mereka menggunakan 60% orang Cina, 30% tahanan tentara Uni Soviet,
dan sisanya orang Mongolia dan Korea. Demi eksperimen ini, ternyata ribuan
manusia telah ditumbalkan sebagai kelinci percobaan sehingga siapapun yang
memasuki kamp tersebut tidak ada yang pernah selamat. Lalu apakah operasi 731
juga ada di Indonesia?
Pada tahun 1944 di salah satu kamp romusha ditemukan wabah yang membuat
para pekerja paksa kritis dan secara bertahap sebanyak 365 orang diantaranya meninggal
dunia. Peristiwa itu juga dilaporkan kepada Rōmu Shorihan - lembaga yang
menangani rōmusha. Namun sayangnya,
laporan itu tidak ditanggapi secara serius sehingga korban semakin bertambah
banyak. Dokter Bahder Djohan memperkirakan 900 romusha tewas akibat wabah tersebut. Sebanyak 90 pekerja paksa di
kamp sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi tak satu pun dari mereka selamat.
Berdasarkan sejarawan Jepang, Aiko
Kurasawa, dalam penelitiannya yang di terbitkan di Tempo 2002 mengatakan
penyebab kematian para romusha adalah
suntikan vaksinasi imunisasi yang mengandung PES (penyakit yang ditularkan
melalui kutu-kutu tikus) dan campuran vaksin TCD (tifus, kolera, disentri) yang
mereka dapat selama di kamp. Karena kejadian ini polisi militer jepang (kenpetai) melakukan investigasi. Hasilnya, vaksin imunisasi
tersebut terverifikasi mengandung kuman tetanus.
Akibatnya,
tuduhan langsung mengarah ke ilmuwan di Lembaga Bilologi Molekuler (LBM) Eijkman
yang menyiapkan vaksin. Karena tuduhan tersebut Achmad Mochtar direktur LBM
Eijkman dijatuhi hukuman mati.
Berdasarkan
riset J. Kevin Baird dan Sangkoy Marzuki dalam War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case by Medicine, para ilmuwan
Jepang terbukti melakukan eksperimen untuk kebutuhan tentara Jepang dan
mengkambing hitamkan Lembaga Eijkman. Tuduhan kenpetai ini sengaja diarahkan kepada Achmad Mochtar dan koleganya
untuk meyingkirkan orang-orang yang anti-jepang.
Ternyata
peristiwa yang di Klender bukan yang pertama kalinya. Dalam pengamatan Aiko,
korban meninggal di kalangan romusha
pasca pemberian vaksin juga terjadi di kamp romusha
Kemayoran dan Jalan Kartini. Sebelumnya, sebanyak 128 orang meninggal akibat
penyakit yang sama di Palembang. Lalu hal yang serupa terjadi di Kalimantan
sebanyak 98 orang dan di Surabaya sebanyak 17 orang meninggal akibat vaksin
berisi penyakit tetanus.
Di
dalam penelitian Unit 731: Laboratory of
Devil, Auschwitz of the East, Yan Yan Jun dan Tam Yue Him juga menyebutkan
bahwa unit 731 juga dibangun di Singapura dengan nama unit 9420. Karena wilayah
yang dekat, ada kemungkinan bahwa operasi 731 juga terjadi di Indonesia.
Menurut
Aiko, Shigeru Matsui diduga memiliki keterkaitan besar atas peristiwa yang
terjadi di Klender. Shigeru adalah ahli medis bergelar PhD yang pernah bekerja
di Unit 9420 yang ada di Singapura. Catatan menunjukkan bahwa Shigeru pernah terlibat
perampokan di bank Teigin, Tokyo dengan motif memberikan sterilisasi penyakit
tifus berupa obat cair kepada para pegawai bank. Akibatnya 12 orang dari 16
pegawai dinyatakan tewas.
Kemudian
Shigeru mulai bertugas di Singapura pada Desember 1942 dan dipindahkan ke
Bukittinggi, Sumatra. Selama itu, Matsui menewaskan sekitar 200 orang Indonesia
dengan memberikan injeksi imunisasi. Setelah kejadian tersebut, Shigeru
dipindahkan ke Institut Pasteur pada Juni 1944 sebelum peristiwa Klender
terjadi.
Pada
Januari 1945, Angkatan Laut Jepang di Surabaya diketahui sedang mengembangkan
vaksin tetanus. Dokter-dokter Angkatan Laut juga meminta serum antitoksin
tetanus kepada Angkatan Darat yang berbasis di Bandung. Angkatan Darat menolak
permintaan itu yang kemudian jadi alasan Angkatan Laut melakukan eksperimen
sendiri. Pada tahap uji klinis kepada manusia, Angkatan Laut memilih 17 tahanan
dari Lombok yang tengah menanti hukuman mati sebagai target. Hasilnya, 15 orang
di antara tahanan itu tewas. Dua tahanan lain yang tetap hidup karena mendapatkan
dosis berbeda. Pada akhirnya, mereka tewas juga di tangan tentara Jepang.
Setelah
perang usai, eksperimen tidak berperikemanusiaan di Surabaya itu disidangkan
dalam Pengadilan Perang Australia. Dalam sidang yang digelar pada 1951 di Pulau
Manus, Papua Nugini, tiga dokter Jepang didakwa bersalah oleh hakim. Namun,
insiden di Klender tak pernah disentuh oleh Pengadilan Perang Sekutu. Begitu
pun, hingga kini, tak ada upaya resmi untuk merehabilitasi nama baik Dokter
Mochtar yang dikriminalisasi Jepang.
Penulis: I’ir Hikmatul Choiro
0 Komentar